UNIDO (UN Industrial Development Organization) atau Badan PBB di bidang Pembangunan Industri sudah sejak awal tahun 1980-an menerbitkan beberapa laporan tentang potensi singkong atau ubi kayu atau sampeu atau manioc, terutama di negara berkembang seperti di Indonesia yang memiliki lahan luas dan memungkinkan, karena permintaan pasar produk singkong tersebut dalam bentuk gaplek, tepung gaplek, dan terutama tepung tapioka, sangat tinggi.
Dari data UNIDO sejak tahun 1982,
Pada umumnya, di Indonesia masih jarang budidaya singkong berbentuk perkebunan dengan luas di atas lima hektar, karena umumnya masih merupakan kebun sela atau tumpang sari setelah penanaman padi huma, kebun hortikultura, ataupun hanya merupakan kebun sambilan, yang lebih banyak ditujukan untuk panenan daun/pucuknya yang dapat dijual untuk lalap, urab, ataupun makanan lainnya. Sedang dari ubinya, merasa sudah cukup hanya menjadi makanan panganan, baik dalam bentuk keripik, goreng singkong, rebus singkong, urab singkong, ketimus, opak, sampai ke bubuy singkong. Kadang-kadang dapat pula ditingkatkan menjadi makanan yang lebih "bergengsi" kalau menjadi "misro" (atau amis di jero/di dalam) atau "comro" (oncom di jero), dan sebagainya.
Ekspor singkong Indonesia dalam bentuk gaplek (keratan ubi singkong yang dikeringkan), tepung gaplek, ataupun tepung tapioka cukup meyakinkan dan dapat bersaing, seperti gaplek Indonesia yang sangat terkenal di mancanegara, terutama di Masyarakat Eropa (ME) sehingga harganya mampu bersaing dengan produk sejenis dari beberapa negara di Afrika, juga dari India dan Thailand, yaitu rata-rata dengan harga 65-75 dollar AS/ton, kemudian meningkat sampai 130 dollar AS/ ton, padahal produk yang sama dari India, Thailand, dan apalagi dari negara-negara di Afrika, hanya mencapai 60 dollar AS/ ton dan tidak lebih dari 80 dollar AS/ton.
Akan tetapi, berbeda dengan produk tapioka, yang semula Indonesia dikenal sebagai penghasil tepung tapioka terbaik kualitasnya, bahkan mendekati kualitas pharmaceutical grade atau produk bahan baku untuk keperluan farmasi, tetapi tiba-tiba pada tahun 1980-an jatuh menjadi kualitas terendah, kalah oleh produk sejenis dari negara-negara Afrika, apalagi dari India dan Thailand.
Masalahnya adalah, bahwa di dalam tepung tapioka hasil
Memang budidaya singkong, pada umumnya di
Saat produk tapioka Indonesia jatuh dan terpuruk, maka kalau mau dijadikan komoditas ekspor, khususnya ke Eropa, harus dijual dulu melalui Singapura, karena di negara tersebut tapioka kita yang sudah tercemar residu pestisida akan "dicuci" terlebih dahulu hingga memenuhi syarat, kemudian baru diekspor ke beberapa negara di Eropa dengan nama "Made in Singapore", padahal, kelakar banyak pakar pertanian, di Singapura tersebut jangankan ada kebun singkong, mencari untuk obat saja sudah susah, dan baru ada di Malaysia.
Tahun 1980-an, ekspor produk singkong
Makin menurunnya jumlah ekspor gaplek, karena penurunan produk singkong
Petani, bukan saja disebabkan karena keterbatasan lahan untuk budidaya singkong yang menyebabkan mereka tidak tertarik, tetapi juga karena pemasaran yang bertahap, sehingga dari petani bernilai antara Rp 36 - Rp 50/kg segar, dan para pengumpul menerima sekitar Rp 75-Rp 100/kg *segar. Dulu ketika di hampir tiap daerah/desa banyak bermunculan pabrik pengolah singkong menjadi tapioka, hasil jerih payah mereka banyak membantu pendapatan.
Bahwa bertani singkong menguntungkan, banyak dialami petani di beberapa daerah di Jawa Barat, mulai dari Kabupaten Purwakarta, Subang, Sumedang, Tasik, Ciamis, Garut, sampai sukabumi dan Cianjur.
Mereka menanam singkong bukan sekadar sambilan, tetapi sudah dikhususkan pada lahan yang sudah ada, dengan luas antara 1-4 ha, umumnya terletak di lereng pegunungan, berbatasan dengan lahan Kehutanan/Perhutani. Lahan untuk tanaman singkong tidak harus khusus, dan tidak memerlukan penggarapan seperti halnya untuk tanaman hortikultura lainnya, misal sayuran. Juga selama penanaman, tidak perlu pemupukan dan pemberantasan
Ternyata hasil tiap panen (antara 5-6 bulan setelah penanaman) dari luas 1 ha akan dapat diraih keuntungan sekitar Rp 2.500.000, yaitu dari hasil penjualan umbinya (4-6 ton) serta pucuk daunnya. Yang perlu diketahui, bahwa selama budidaya tidak banyak pekerjaan yang harus dilakukan, misal menyiangi gulma (
Sekarang, seperti yang dilakukan oleh para pengusaha singkong di daerah Lampung, Sulawesi Selatan, serta daerah lainnya, di samping lahan yang digunakan dapat lebih dari 500 ha/kebun, bahkan ada yang mencapai ribuan ha, juga bibit singkong umumnya merupakan bibit unggul seperti Manggi (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 16 ton/ha, Valenca (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 20 ton/ha, Basiorao (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 30 ton/ ha, Muara (berasal dari Bogor) dengan hasil rata-rata 30 ton/ ha, Bogor (asal dari Bogor) dengan hasil rata-rata 40 ton/ha. Bahkan, sekarang ada pula jenis unggul dan genjah (cepat dipanen), seperti Malang-1, dengan produksi antara 45-59 ton/ha atau rata-rata 37 ton, Malang-2, dengan produksi rata-rata antara 34 - 35 ton/ha.
Semakin banyak petani berdasi yang saat ini mulai melirik budidaya singkong dengan luas tanam di atas 50 ha, terutama di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan, karena permintaan produk, terutama dalam bentuk gaplek, tepung gaplek dan tepung tapioka, terus meningkat dengan tajam. Serta produk olahan singkong
H UNUS SURIAWIRIA, Bioteknologi dan Agroindustri, ITB
*harga singkong dipasaran saat ini di jogja mencapai 500-700 /kg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar