Jumat, 18 Januari 2008

Pendidikan Berlandaskan Cinta-chapter 1


Banyak teori tentang pendidikan diajarkan kepada calon guru yang sedang menempuh ilmu di perguruan tinggi. Teori-teori yang dipelajari hampir semua mengacu pada interaksi antara pendidik dan peserta didik. Bukan hanya itu, tapi, perkembangan peserta didik juga mendapat sorotan dari hampir keseluruhan teori yang diajarkan. Bahkan dalam tujuan pendidikan nasional indonsia sendiri menurut UU no 20 tahun 2003, “ Bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kenyataannya hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Penyebabnya adalah kebiasaan meniru yang yang sudah mengakar pada budaya pengajaran itu sendiri. Guru-guru yang ada saat ini banyak yang merupakan guru-guru lama. Sistem lama dan undang-undang yang pada masa mereka kuliah diterapkan saat ini sudah mengalami banyak perubahan. Sayangnya perubahan-perubahan itu mendapat respon yang kurang bagus sehingga perkembangan metode mengajar mereka tidak mengikuti alur yang ada. Salah satu penyebab yang dikeluhkan sejak dahulu adalah perubahan sistem hampir setiap pergantian Mendiknas. Perubahan dan penyempurnaan sistem yang ada dianggap telah menyimpang terlalu jauh dari sistem yang sebelumnya. Oleh sebab itu, para guru di tingkat pelaksana lebih suka menggunakan cara mengajar mereka sendiri. Metode mengajar yang demikian merupakan adopsi dari cara mengajar guru mereka sendiri yang diterima ketika mereka menempuh pendidikan. Sedangkan cara guru mereka itu disinyalir merupakan metode mengajar jaman kolonial Belanda. Inilah mengapa sistem pendidikan saat ini masih terkait dengan model pendidikan yang diterapkan ketika jaman penjajahan dahulu.
Setelah kita tahu bahwa model pembelajaran saat ini masih berkaitan dengan model pembelajaran jaman penjajahan, kita lihat proses pembelajarannya. Ketika masa penjajahan, bangsa Indonesia dituntut untuk menyediakan tenaga terampil. Hal ini menimbulkan masalah jika masih terus diterapkan. Saat ini, kita dituntut untuk memiliki keahlian yang dapat bersaing dengan pasar internasional. Dengan sistem pendidikan yang ada, kita hanya dapat menghasilkan tenaga terampil namun berada dalam kelas pekerja terendah.
Oleh sebab itu, perlu ada berbagai perubahan dalam sistem pendidikan.Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Dikatakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia — siap pakai”. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Proses perubahan dalam dunia pendidikan berjalan seiring dengan reformasi sistem demokrasi yang dilaksanakan pemerintah. Secara garis besar, pencapaian pendidikan nasional masih jauh dari harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global. Secara kualitatif maupun kuantitatif, pendidikan nasional masih memiliki kelemahan mendasar. Banyak kalangan menganggap bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan kepribadian.Padahal pembentukan karakter dan kepribadian ini sangat penting, bahkan sangat mendesak memandang masih berkelanjutannya berbagai krisis yang melanda bangsa dan negara Indonesia sampai saat ini. Untuk memajukan pendidikan dekolah di Indonesia dibutuhkan guru yang benar-benar menekuni pekerjaannya secara profesional dan penuh dedikasi.
Tantangan perubahan pendidikan di Indonesia menuntut para guru untuk memiliki karakter dan sifat tertentu seperti menjalankan tugasnya sebagai panggilan hidup, berdedikasi tinggi, demokratis, profesional, dan bersikap sebagai seorang intelektual. Selain berbagai sifat dan karakter yang harus dimiliki guru dalam mencapai perubahan tersebut, proses pembelajaran yang dilakukan harus berdasarkan rasa cinta yang tulus kepada siswa.

Tidak ada komentar: