Maaf Ibu Pertiwi
Penghujung Juli 2007. Sebentar lagi akan ada peringatan 62 tahun Republik Indonesia. Di sebuah kampung di Yogyakarta. Sebuah rumah dekat makam. Tidak terpencil. Hanya terletak di pinggiran kampung. Pemilik rumah tampak sibuk dengan kegiatan sehari-hari. Bukan mereka tidak tahu sebentar lagi hari kemerdekaan RI. Sulitnya hidup membuat mereka tidak sempat menangkap eforianya. Bukan tidak cinta negeri ini. Hanya miskin.
Hari berlalu dengan cepat. Awal Agustus. Ini hanya berarti kerja bakti dan penarikan sumbangan bagi keluarga itu. Bersih kampung merupakan acara rutin setiap mendekati 17 Agustus. Begitu pula dengan penggalangan dana. Sejenak mengurangi uang makan demi kecintaan pada ibu pertiwi. Setidaknya itu masih bisa mereka lakukan. Entah sumbangan untuk pedukuhan atau untuk RT yang penting bisa memberikan sesuatu untuk merayakan kemerdekaan.
“ Merdeka? Benar. Seharusnya sekarang sudah jaman kemerdekaan. Merdeka dari apa? Penjajah?” Pak Tua berdebat dengan alam pikirannya sendiri.
“ Lalu orang-orang yang memungut pajak itu siapa?”
“ Mereka itu adalah pemerintah. Orang-orang pandai dan berbudi luhur yang menjalankan Negara agar lebih maju.” Pikirannya mulai berdebat entah dimana letaknya.
“ Berbudi luhur tapi tidah berhati. Menurutku perut mereka lebih maju daripada negeri ini.” Pesimis, Pak Tua memandang para pejabat yang pernah dilihat dan ditemuinya selama ini.
“ Tidak, perut mereka buncit pasti bukan karena itu. Mungkin karena mereka sering rapat membahas kemajuan negeri ini sehingga tidak sempat berolahraga. Selain itu pasti karena sering menghadiri jamuan demi kelancaran bantuan dan pembangunan.” Sanggah pikirannya lagi.
“ Kang, ayo kerja bakti. Ngalamun apa? Yang sudah ya sudah tidak perlu dipikirkan!” Seorang tetangga membuyarkan lamunannya.
Mereka berangkat menuju jalan kampung untuk bergotong-royong membersihkannya. Jalan cor hasil swadaya masyarakat ditambah sumbangan calon bupati yang sekarang sudah menjadi bupati terpilih, ditambah dari calon lurah yang sekarang juga sudah menjabat serta dari bantuan pemerintah. Rumput dan semak liar dibersihkan lalu dibakar. Tampak kerukunan dari semua elemen masyarakat. Setelah semua bersih mereka pulang kerumah masing-masing.
“ Kang, rumahmu dipasang bendera biar kelihatan bagus. Letaknya di pinggir jalan kan? Biar kalau orang melihat tampak semarak.” Kata Pak RT kepada Pak Tua.
“ Iya pak, nanti saya cari benderanya. Kalau sudah ketemu nanti biar saya pasang di depan rumah” Ucap Pak Tua.
“ Kalau tidak ada ya beli dong Kang. Paling berapa harganya. Setahun sekali dipasang itupun bisa dipakai beberapa tahun.” Ucap tetangganya.
“ Harganya murah tapi kalu tidak ada kesadaran juga percuma. Tidak akan beli juga. Itu kan tergantung kesadaran masing-masing. Iya tidak pak?” Yang lain menimpali.
Perlahan tapi pasti mendung mulai bergelayut di wajah tua itu. Seolah tak peduli dengan para tetangga yang tertawa dengan ucapan salah satu diantara mereka tentang kejadian yang dialaminya. Sampai dirumah Pak Tua menghela nafas. Beban hidup mulai terasa berat kembali. Ia ingat ucapan Pak RT tadi. Dicarinya bendera itu kemana-mana. Semua tempat penyimpanan sudah diperiksa dengan teliti namun apa yang dicari tetap tidak ditemukan. Kembali dicari namun tetap tidak ada. Ia ingat bahwa bendera tahun lalu sudah kusut lalu dibuang pada saat membersihkan puing-puing rumahnya akibat gempa.
Tok! Tok! Tok!
“ Permisi ! ” Seorang pemuda dari RT lain tampak berdiri di depan pintu sambil membawa stofmap.
“ Iya, Silahkan masuk.”
“ Begini pak, ini saya dari panitia peringatan HUT RI se-Pedukuhan akan menyelenggarakan malam pentas seni. Untuk itu kami meminta bantuan bapak sekeluarga seikhlasnya.” Ungkap pemuda itu.
“ Baik, tunggu sebentar ya mas.” Pak Tua masuk lalu mengambil uang lima ribuan dan memberikannya kepada pemuda itu.
“ Terimakasih pak, saya mohon pamit” Si pemuda lalu keluar dan hilang di tikungan pojok rumahnya.
Tidak berapa lama, datang lagi seorang pemuda. Kali ini tetangganya sendiri. Juga membawa stofmap di tangan kanannya. Stofmap berisi permintaan sumbangan untuk acara tirakatan di RT. Pak Tua yang tidak bisa baca tulis itupun hanya mengiyakan sambil memberikan uang lima ribu seperti tadi. Setelah pemuda itu pergi istrinya datang.
“ Pak, uangmu yang tujuh ribu di dompet tadi tak ambil untuk beli sayur buat masak.”
“ Oh, ya sudah tidak apa-apa. Tapi itu uang terakhir lho.” Sambil berlalu menuju peraduannya.
Saat malam menjelang Pak Tua melamun menatap atap dalam kamar yang hanya diterangi lampu lima watt. Seandainya hidupnya lebih mapan dari sekarang. Bendera merah putih saja dia tidak punya. Uang tujuh belas ribu rupiah yang akan dibelikan bendera sudah habis tak tersisa. Itupun ia tidak tahu akan makan apa besok. Benarkah negeri ini sudah merdeka pikirnya. Mata tua terpejam seiring malam merayap naik. Maaf ibu pertiwi, tahun ini aku tidak memasang bendera untuk memperingati kemerdekaanmu. Rembulan muncul terang namun hanya sebentar. Lalu tertutup mendung pekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar