Semua orang yang berada di ruangan menjadi diam bagai dihipnotis ketika tamu itu mulai berbicara.
“Jadi, saudara-saudara sekalian harap maklum. Satu bulan lagi akan diadakan pemilihan lurah baru di kelurahan kita ini. Sebab kiat semua ngerti to, jabatan lurah sedang kosong,” ucapnya. Lalu beliau mulai membicrakan hal-hal tentang pemilihan lurah itu sendiri termasuk calon-calon yang akan dipilih.
“Oleh sebab itu, saya disini istilahnya mint abantuan saudara-saudara untuk mendukung atau kasarannya milih Pak Saridja sebagai lurah yang akan datang. Wong beliau sendiri saya kira lebih baik dari calon-calon yang lain. Selain itu, beliau juga kan putra daerah ya to?” ungkapnya dengan logat jawa yang kental. Diam menyekap mulut para pemuda itu untuk sejenak. Berikir, menimbang dan mungkin menghitung laba.
“Maaf, begini pak,” sebuah suara dari bibir pemuda bernama Andri.
“Kami bersedia dan siap untuk mendukung Pak Saridjo. Namun, kami minta bantuan dan kerelaan beliau untuk membangun jalan di sebelah timur kampung kita itu pak.”
“Baiklah, nanti kami konsultasikan dahulu dengan beliau. Tapi anda juga mesti ingat, harus konsekuen lho! Kalau sudah dibantu, ya harus benar-benar milih. Jangan mencla-mencle.”
“Itu nanti ada duitnya ngga’ pak?” celetuk yang lain, disambut dengan senyum simpul dari seluruh anggota.
“Hal ini masih dalam pertimbangan keluarga sehingga saya belum mampu mengatakan ya atau tidaknya,” jawab tamu itu.
“Mungkin ini saja yang dapat kami sampaikan dan sudilah kiranya saudara-saudara mau mendukung Bapak Saridja. Kalau ada salah kata kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih atas waktu yang diberikan,” kata-kata penutup manis namun panjang dan membujuk diucapkan tamu itu.
“Terimakasih atas informasi yang disampaikan. Semoga rekan-rekan dapat memilih calon sesuai dengan aspirasi rekan-rekan semuany,” ketua pemuda menutup rapat setelah semua agenda terlaksana.
“Selesai juga,” ucapku dalam hati.
“Mana sudah jam sepuluh lagi.”
Hari yang sangat melelahkan bagiku. Setelah seharian berkutat dengan kuliah, lalu rapat-rapat keorganisasian siang tadi akhirnya rapat ini selesai sudah. Tak ku sangka aku bisa menjadi orang sok sibuk juga. Jadwal apel malam mingguku pun harus mengantri dan bahkan aku batalkan. Akhirnya aku bisa pulang dan bersantai menunggu besok untuk pergi ke rumah calon istriku itu.
“Mas, bs t4ku ga?cpt ptg!” sebuah pesan tiba-tiba muncul di layar ponselku. Tumben denokku itu sms selarut ini, minta aku kesana lagi. Langsung aku ambil motor kesayanganku lalu meluncur ke arah kota. Maklum, rumahnya berada hamper di tengah-tengah kota.
“Ada apa nduk?” tanyaku setelah sampai di rumah calon mertuaku.
“Simbah sakit, kamu ada duit ngga?”
“Aduh, brengsek!” makiku dalam hati.
Baru aku mau muntah soal duit. Kenapa sekarang ada masalah seperti ini. Kacau! Mataku terpejam sesaat. Terbayang akan apa yang disampaikan tamu pada pertemuan pemuda tadi sore. Pikiranku melayang pada calon lurah baru yang bisa menjadi sumber dana bagi simbah. Aku mungkin miskin, tapi otakku sangat bisa ku andalkan. Dengan modal otak dan mulut mungkin dia mau membantuku jika aku membantunya menjadi lurah. Ah, mungkin.
“Pak, saya ingin matur sama Bapak. Itu pak, soal pilihan lurah nanti. Terus terang saja pak, saya ingin dan bisa membantu bapak agar bisa menang. Mungkin lebih dari Tim Sukses yang bapak punya. Saya jamin itu,” ucapku lantang sambil sesumbar di hadapan Saridjo.
“Kamu ini bisa saja. Imbalannya?”
“Saya ingin minta bantuan dana dari bapak untuk biaya berobat simbah saya ke rumah sakit. Tidak banyak kok. Sepuluh juta saja. Dan saya jamin bapak pasti menang kali ini,” seolah aku ini yang menentukan siapa yang akan menjadi lurah. Setelah sekian menit dan dengan mulut yang hamper berbusa karena meyakinkan dia, akhirnya mau juga Saridjo buka mulut.
“Ok, aku beri lima juta dulu. Sisanya nanti setelah aku jadi lurah dan mungkin kamu akan aku beri bonus nanti. Tapi kalau sampai aku kalah kamu harus ganti rugi tiga kali lipatnya. Deal?”
“Deal. Tapi kalau bapak berkenan saya ingin meminta uang lima juta itu sekarang,” ucapku sehalus mungkin. Aman. Simbah bisa segera masuk rumah sakit, pikirku.
“Ok,” Saridjo masuk ke rumahnya dan mengambil uang sebanyak 5 juta rupiah cash. Tak lupa ia menitipkan sebuah ancaman halus bagiku. Jika aku tidak bisa menjadikan dia lurah maka matilah aku. Dapat dari mana duit 30juta itu. Namun, kalau berhasil, 15 juta masuk kantong itu pasti.
“Persetan, itu bisa dipikir besok,” hatiku mulai menenangkan diri. Aku segera mohon diri dengan memberikan janji muluk yang aku harap bisa membuatnya terbang dan melupakan ancamannya itu.
Aku muak denagn semua money politics ini. Tapi, apa mau dikata. Simbah sakit dan berobat harus pake duit. Aku hanya orang miskin yang pintar bicara dan membual. Kerja aku belum punya, apalagi uang sebesar itu. Sebagai petani, tentu aku tak bisa meminta uang sebesar itu pada orang tuaku. Bisa sekolah saja aku sudah sangat berterima kasih. Duh Gusti, bagaimana ini. Tuhan. Aku hampir lupa dengan Dia. Setelah semua usai, aku akan mulai menemuinya lagi. Mungkin Dia masih mau memaafkan semua salahku. Kata-Nya Dia Maha Pengampun. Aku berharap masih bisa bertemu Dia untuk meminta maaf.
Dua bulan berlalu. Aku dan ‘mulut besarku’ telah berhasil membuat sebagian besar warga terbujuk. Berbagai cara mulai nasionalisme, pembodohan serta segala bualanku telah membuat mereka takhluk. Saridjo menang telak. Uang 20 juta bahkan telahmengalir lancar ke kantongku. Simbah bahkan sudah sembuh seperti dulu lagi. Semua uang aku berikan pada calon istriku. Aku lebih percaya dia untuk mengurus semua keperluanku Namun dibalik semua itu, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Suara hatiku kini mulai terdengar kembali.
“Memang kemana dia selama ini?”
“Tuhan maafkan aku. Semua dosa yang telah aku perbuat,” ucapku lirih dalam kesunyian. Hari ini suara adzan subuh terasa menyejukkan hati.
In memories of Endra. Jogja, 2005
“Jadi, saudara-saudara sekalian harap maklum. Satu bulan lagi akan diadakan pemilihan lurah baru di kelurahan kita ini. Sebab kiat semua ngerti to, jabatan lurah sedang kosong,” ucapnya. Lalu beliau mulai membicrakan hal-hal tentang pemilihan lurah itu sendiri termasuk calon-calon yang akan dipilih.
“Oleh sebab itu, saya disini istilahnya mint abantuan saudara-saudara untuk mendukung atau kasarannya milih Pak Saridja sebagai lurah yang akan datang. Wong beliau sendiri saya kira lebih baik dari calon-calon yang lain. Selain itu, beliau juga kan putra daerah ya to?” ungkapnya dengan logat jawa yang kental. Diam menyekap mulut para pemuda itu untuk sejenak. Berikir, menimbang dan mungkin menghitung laba.
“Maaf, begini pak,” sebuah suara dari bibir pemuda bernama Andri.
“Kami bersedia dan siap untuk mendukung Pak Saridjo. Namun, kami minta bantuan dan kerelaan beliau untuk membangun jalan di sebelah timur kampung kita itu pak.”
“Baiklah, nanti kami konsultasikan dahulu dengan beliau. Tapi anda juga mesti ingat, harus konsekuen lho! Kalau sudah dibantu, ya harus benar-benar milih. Jangan mencla-mencle.”
“Itu nanti ada duitnya ngga’ pak?” celetuk yang lain, disambut dengan senyum simpul dari seluruh anggota.
“Hal ini masih dalam pertimbangan keluarga sehingga saya belum mampu mengatakan ya atau tidaknya,” jawab tamu itu.
“Mungkin ini saja yang dapat kami sampaikan dan sudilah kiranya saudara-saudara mau mendukung Bapak Saridja. Kalau ada salah kata kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih atas waktu yang diberikan,” kata-kata penutup manis namun panjang dan membujuk diucapkan tamu itu.
“Terimakasih atas informasi yang disampaikan. Semoga rekan-rekan dapat memilih calon sesuai dengan aspirasi rekan-rekan semuany,” ketua pemuda menutup rapat setelah semua agenda terlaksana.
“Selesai juga,” ucapku dalam hati.
“Mana sudah jam sepuluh lagi.”
Hari yang sangat melelahkan bagiku. Setelah seharian berkutat dengan kuliah, lalu rapat-rapat keorganisasian siang tadi akhirnya rapat ini selesai sudah. Tak ku sangka aku bisa menjadi orang sok sibuk juga. Jadwal apel malam mingguku pun harus mengantri dan bahkan aku batalkan. Akhirnya aku bisa pulang dan bersantai menunggu besok untuk pergi ke rumah calon istriku itu.
“Mas, bs t4ku ga?cpt ptg!” sebuah pesan tiba-tiba muncul di layar ponselku. Tumben denokku itu sms selarut ini, minta aku kesana lagi. Langsung aku ambil motor kesayanganku lalu meluncur ke arah kota. Maklum, rumahnya berada hamper di tengah-tengah kota.
“Ada apa nduk?” tanyaku setelah sampai di rumah calon mertuaku.
“Simbah sakit, kamu ada duit ngga?”
“Aduh, brengsek!” makiku dalam hati.
Baru aku mau muntah soal duit. Kenapa sekarang ada masalah seperti ini. Kacau! Mataku terpejam sesaat. Terbayang akan apa yang disampaikan tamu pada pertemuan pemuda tadi sore. Pikiranku melayang pada calon lurah baru yang bisa menjadi sumber dana bagi simbah. Aku mungkin miskin, tapi otakku sangat bisa ku andalkan. Dengan modal otak dan mulut mungkin dia mau membantuku jika aku membantunya menjadi lurah. Ah, mungkin.
“Pak, saya ingin matur sama Bapak. Itu pak, soal pilihan lurah nanti. Terus terang saja pak, saya ingin dan bisa membantu bapak agar bisa menang. Mungkin lebih dari Tim Sukses yang bapak punya. Saya jamin itu,” ucapku lantang sambil sesumbar di hadapan Saridjo.
“Kamu ini bisa saja. Imbalannya?”
“Saya ingin minta bantuan dana dari bapak untuk biaya berobat simbah saya ke rumah sakit. Tidak banyak kok. Sepuluh juta saja. Dan saya jamin bapak pasti menang kali ini,” seolah aku ini yang menentukan siapa yang akan menjadi lurah. Setelah sekian menit dan dengan mulut yang hamper berbusa karena meyakinkan dia, akhirnya mau juga Saridjo buka mulut.
“Ok, aku beri lima juta dulu. Sisanya nanti setelah aku jadi lurah dan mungkin kamu akan aku beri bonus nanti. Tapi kalau sampai aku kalah kamu harus ganti rugi tiga kali lipatnya. Deal?”
“Deal. Tapi kalau bapak berkenan saya ingin meminta uang lima juta itu sekarang,” ucapku sehalus mungkin. Aman. Simbah bisa segera masuk rumah sakit, pikirku.
“Ok,” Saridjo masuk ke rumahnya dan mengambil uang sebanyak 5 juta rupiah cash. Tak lupa ia menitipkan sebuah ancaman halus bagiku. Jika aku tidak bisa menjadikan dia lurah maka matilah aku. Dapat dari mana duit 30juta itu. Namun, kalau berhasil, 15 juta masuk kantong itu pasti.
“Persetan, itu bisa dipikir besok,” hatiku mulai menenangkan diri. Aku segera mohon diri dengan memberikan janji muluk yang aku harap bisa membuatnya terbang dan melupakan ancamannya itu.
Aku muak denagn semua money politics ini. Tapi, apa mau dikata. Simbah sakit dan berobat harus pake duit. Aku hanya orang miskin yang pintar bicara dan membual. Kerja aku belum punya, apalagi uang sebesar itu. Sebagai petani, tentu aku tak bisa meminta uang sebesar itu pada orang tuaku. Bisa sekolah saja aku sudah sangat berterima kasih. Duh Gusti, bagaimana ini. Tuhan. Aku hampir lupa dengan Dia. Setelah semua usai, aku akan mulai menemuinya lagi. Mungkin Dia masih mau memaafkan semua salahku. Kata-Nya Dia Maha Pengampun. Aku berharap masih bisa bertemu Dia untuk meminta maaf.
Dua bulan berlalu. Aku dan ‘mulut besarku’ telah berhasil membuat sebagian besar warga terbujuk. Berbagai cara mulai nasionalisme, pembodohan serta segala bualanku telah membuat mereka takhluk. Saridjo menang telak. Uang 20 juta bahkan telahmengalir lancar ke kantongku. Simbah bahkan sudah sembuh seperti dulu lagi. Semua uang aku berikan pada calon istriku. Aku lebih percaya dia untuk mengurus semua keperluanku Namun dibalik semua itu, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Suara hatiku kini mulai terdengar kembali.
“Memang kemana dia selama ini?”
“Tuhan maafkan aku. Semua dosa yang telah aku perbuat,” ucapku lirih dalam kesunyian. Hari ini suara adzan subuh terasa menyejukkan hati.
In memories of Endra. Jogja, 2005
1 komentar:
thanks in the service of this exacting tips 147896325
Posting Komentar