Minggu, 06 April 2008

Mengajarkan Matematika ( Sebuah Pemikiran Pendidikan )

Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan.

Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan dimasa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Pendidikan harus menyentuh potensi nurani maupun potensi kompetensi peserta didik. Konsep pendidikan tersebut terasa semakin penting ketika seseorang harus memasuki kehidupan di masyarakat dan dunia kerja, karena yang bersangkutan harus mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah untuk menghadapi problema yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari saat ini maupun yang akan datang.

Untuk mendukung terlaksananya kemajuan dalam pendidikan yang diharapkan maka perlu adanya perubahan dan penyesuaian dalam proses pembelajaran yang ada. Pembelajaran selama ini hanya berpusat pada guru sebagai pemateri dan sumber belajar. Pengembangan kompetensi peserta didik kurang terakomodir dengan model pembelajaran selama ini. Jika ini terus berlanjut maka kompetensi yang diharapkan dapat dimiliki peserta didik tidak akan dapat terpenuhi.

Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur, menurunkan dan menggunakan rumus Matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari melalui materi aljabar, geometri, logika Matematika, peluang dan statistika. Matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan melalui model Matematika yang dapat berupa kalimat dan persamaan Matematika, diagram, grafik atau table (Depdiknas, 2003; 6)

Pendekatan dan strategi pembelajaran hendaknya mengikuti kaidah pedagogik secara umum, yaitu pembelajaran diawali dari kongkrit ke abstrak, dari sederhana ke kompleks, dan dari mudah ke sulit, dengan menggunakan berbagai sumber belajar (Depdiknas, 2003; 11).

Menurut Sobel dan Maletsky (Nuriana, 2004) banyak sekali guru matematika yang menggunakan waktu pelajaran dengan kegiatan membahas tugas-tugas lalu, memberi pelajaran baru, memberi tugas kepada siswa. Pembelajaran seperti di atas yang rutin dilakukan hampir tiap hari dapat dikategorikan sebagai 3M, yaitu membosankan, membahayakan dan merusak seluruh minat siswa. Apabila pembelajaran seperti ini terus dilaksanakan maka kompetensi dasar dan indikator dalam

pembelajaran tidak akan dapat tercapai secara maksimal.

Terjadinya proses belajar sebagai upaya untuk memperoleh hasil belajar sesungguhnya sulit untuk diamati karena ia berlangsung di dalam mental. Namun demikian, kita dapat mengidentifikasi dari kegiatan yang dilakukannya selama belajar. Sehubungan dengan hal ini, para ahli psikologi cenderung untuk mengguna-kan pola tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar.

Thorndike, salah seorang penganut paham psikologi behavior (Rusdy A. Siroj, 2004; 2), menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Menurutnya, dari berbagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan koneksi atau ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon.

Dalam teori belajar bermaknanya, Ausabel mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Jadi, proses belajar tidak sekadar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka (root learning), namun berusaha menghubungkan konsep-konsep tersebut untuk menghasilkan pemahaman yang utuh (meaningfull learning), sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan (Arif Sholahuddin, 2003).

Bacon (Samuel Smith, 1986 : 157) mengungkapkan bahwa seorang murid harus percaya akan penelitian dan percobaannya sendiri dalam mencari kebenaran yang nyata, hasil yang berlaku dan hal-hal yang diamati, bukannya teori-teori aneh tentang gejala alam.

Agar terjadi belajar bermakna maka dalam diri siswa harus ada konsep-konsep relevan yang disebut subsumer. Bila tidak terdapat konsep-konsep yang relevan tersebut maka informasi baru akan dipelajari secara hafalan. Bila tidak dilakukan usaha untuk mengasimilasikan pengetahuan baru pada konsep-konsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif, juga akan terjadi belajar hafalan. Dengan demikian, guru harus selalu berusaha mengetahui konsep-konsep apa yang telah dimiliki oleh siswa dan membantu mengasimilasikan konsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang diajarkan.

Bourne (Hamzah, 2006;1) memahami matematika sebagai konstruktivisme sosial dengan penekanannya pada knowing how, yaitu pembelajar dipandang sebagai mahluk yang aktif dalam mengskostruksi ilmu pengetahuan dengan cara berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan pengertian knowing that yang dianut oleh kaum absoluitis, di mana pembelajar dipandang sebagai mahluk yang pasif dan seenaknya dapat diisi informasi dari tindakan hingga tujuan (Dewey dalam Hamzah, 2006). Dalam proses belajar mengajar matematika diperlukan adanya sebuah metode yang ideal dalam belajar. Metode yang ideal dalam belajar sebagaimana dikemukakan Dewey ( Samuel Smith, 1986:260) memiliki ciri :

  1. Murid harus benar-benar tertarik pada kegiatan, pengalaman atau pekerjaan yang edukatif
  2. Ia harus menemukan dan memecahkan kesukaran atau masalah
  3. mengumpulkan data-data melalui ingatan pemikiran dan pengalaman pribadi atau penelitian
  4. menentukan cara pemecahan kesukaran atau masalah
  5. mencoba cara terbaik untuk memecahkan sesuatu melalui penerapan dslam pengalaman, percobaan atau kehidupan sehari-hari.

Freudenthal dalam Koeno Gravemeijer (1994:13) mengatakan :

Siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali matematika dibawah bimbingan orang dewasa. Dalam sudut pandang ini, pendidikan matematika akan sangat interaktif dan guru-guru harus membangun ide-ide dari para siswa.

Eckhard Klieme, et al (2001), mengatakan bahwa :

Selama bertahun-tahun, penelitian mengenai psikologi dan pendidikan dalam pemahaman konsep-konsep geometri secara keseluruhan mengacu pada teori Piaget dan Inhelder(1971). Dalam penelitian perkembangan psikologis mereka, piaget dan Inhelder mengembangkan teori tentang tahapan-tahapan sesuai perkembangan yang dialamai anak dalam tiga tahapan pemikiran geometris mulai usia anak-anak hingga awal remaja. Pertama, anak-anak berada dalam tahap sensori-motor untuk membangun gambaran-gambaran tentang ‘konsep topologi”. Kemudian mereka mengembangkan gambaran tentang “geometri proyektif” ( misalnya, konsep tentang garis lurus atau ruang tiga dimensi, persamaan, dll.)

Sementara itu, Dina dan Pieree Van Hielle yang mempelajar konsep pemikiran geometri pada anak-anak mengatakan ada empat level pemikiran geometri yaitu :

  1. Visualisasi
  2. Analisis
  3. Penarikan kesimpulan informal
  4. Penarikan kesimpulan

Keempat hal tersebut akan dilalui siswa secara lebih baik dengan pemberian petunjuk dari pada mendorong siswa untuk menghafal.

Tidak ada komentar: