Minggu, 20 April 2008

Menghindari Kekerasan Pada Anak

Di era keterbukaan ini, perjuanagn untuk dapat memerdekakan setiap unsur kehidupan seolah mendapat jalannya masing-masing. Atas nama HAM, hak-hak Hewan, bahkan hak Anak. Demi mengakomodir hak anak inilah tulisan ini dibuat. Sudah wajar jika kita saat ini merubah cara pandang terhadap anak-anak kita. baik orang tua, guru, maupyun orang lain disekitar anak tumbuh. Meski dalam kenyataanya apa yang diharapkan masih jauh dari kenyataan, masalah itu adalah suatu yang berbeda dari pangkal permasalahannya.
Tidak hanya hak-hak atas pendidikan tapi yang harus dipikirkan adalah hak untuk mendapat kebebasan berpikir dan bertindak sebagai anak-anak. Kekerasan pada anak sekarang bukan lagi milik anak yang tumbuh dari keluarga miskin, anak jalanan, maupun anak dengan sejarah kekerasan maupun "ketidaknormalan" keluarga. Anak-anak dengan keluarga kaya (atau paling tidak mampu), maupun anak yang dibesarkan dalam keluarga "normal" seakan iri untuk mendapatkan pelajaran keras dalam kehidupan ini. Setidaknya intulah gejala yang dapat teramati sampai saat ini.
Masalah anak-anak bukan lagi tentang mencari uang untuk membantu keluarga, pemukulan hingga pemerkosaan. Masalah lebih terselubung ternyata tidak lebih ringan dari masalah-masalah tersebut. Atasnama pendidikan lebih baik para orangtua, beberapa guru maupun beberapa sekolah telah melampaui batas kewajaran dalam mendidik anak-anak mereka. Kewajiban untuk belajar tanpa istirahat, mengerjakan tugas tanpa lelah, tanpa bermain.
Saat sekolah-sekolah unggulan mengharuskan seleksi yang ketat, orang tua menginginkan persaingan. Saat keinginan tidak tercapai, anak bodoh menjadi julukan baru. Saat ini, bukan hanya anak yang benar-benar tidak mampu mengikuti pelajaran teman sekelasnya yang dibilang anak bodoh, tetapi anak-anak dengan prestasi membanggakan pun bisa jadi anak bodoh saat tidak bisa memenuhi ambisi orang tua untuk masuk sekolah unggulan.
Satu contoh yang paling mudah adalah ketika sekolah-sekolah unggulan mengharuskan calon murid untuk sudah dapat membaca dan menulis dengan lancar agar bisa masuk menjadi siswa. Selain itu mereka juga harus lulus psikotest dan bisa menghitung (mengurutkan angka, menjumlah, dan mengurang). (Untung saya sekolah SD 17 tahun yang lalu jadi tidak perlu menjalani penderitaan itu) Bimbingan belajar menjadi 'pelarian' orangtua yang ingin anaknya sekolah di tempat yang mereka anggap unggul.
Bagaimana tidak, hampir setiap hari anak-anak harus mengikuti berbagai macam les untuk mendukung usaha masuk ke sekolah unggulan. Memberikan sehari pada hari minggu sebagai ajang main Game anak sepuasnya. Memberikan motivasi negatif merupakan kelemahan terbesar para orangtua masa kini. Saat anak merasa lelah belajar, mereka dijanjikan sesuatu sebagai penyemangat bukannya memberikan waktu sejenak untuk mengistirahatkan otaknya. Tak ada yang bisa dilakukan seorang guru TK untuk menyiasati hal itu. Mereka diajarkan bahwa pengenalan hal-hal lain selain bermain terlalu dini akan merusak perkembangan otak anak dimasa depan. Sebaliknya, jika tidak diajarkan maka banyak anak yang pindah sekolah untuk mengejar sekolah unggulan.
Saatnya merubah paradigma berpikir dengan cara pandang 10-15 tahun kedepan saat anak-anak itu tumbuh dewasa. Apa yang lebih dibutuhkan untuk hidupnya. Kebingungan atau pemahaman akan hal-hal baru termasuk alamnya.
Mungkin perlu melihat pada tulisan Buruk Rupa TV, Kita Celaka sebuah tulisan yang bagus tentang anak-anak.

Tidak ada komentar: